• Terik Di Teritik Masjid


    Matahari mulai condong ke arah barat, namun teriknya masih sedikit terasa menyengat kulit jika engkau berdiri di luar sana. Suasana masjid yang begitu damai, umat muslim belum lama selesai menunaikan ibadah sholat dzuhur. Aku duduk dekat tiang yang ada di dalam masjid yang megah berlantaikan  keramik berwarna putih, dinding yang kelihatannya begitu kokoh, hiasan kaligrafi yang begitu indah menghiasi dinding bagian atas hampir mengenai langit-langit masjid. Ada empat tiang di dalam masjid yang agung itu, di dekat tiang sebelah kananlah aku duduk sambil membaca ayat suci Al-Qur’an, yang sudah entah berapa lama aku tak membacanya. Kesibukan duniawi hampir membuatku lupa akan kewajibanku sebagai umat manusia, baru beberapa ayat yang ku baca mataku telah berkaca-kaca dan jika aku mengedipkan mata secara tiba-tiba mungkin air mata itu akan jatuh. Berhenti sejenak membiarkan angin meniup mataku dan dan ku kedipkan perlahan, air mata itu seakan malu untuk keluar mabasahi pipiku.
    Selesai membaca beberapa ayat saja, ku tengok sekelilingku ternyata hanya aku yang ada di dalam masjid itu, di tengah keramaian kota seharusnya masjid sebesar itu tidak sepi! Tapi beginilah keadaanya, nyatanya bagi mereka yang tidak memiliki kesadaran memelih untuk menghabiskan waktu luangnya di kafe-kafe atau apalah nama dari tempat-tempat hiburan yang ada di kota metropolitan, kota yang penduduknya tidak mengenal tetangga samping kanan ataaupun samping kirinya, masih beruntung jika mereka mengenal tetengga depan rumahnya. 
    “Ah….”
     Aku bernafas panjang, teringat dalam pikiranku sewaktu aku masih di kampung halamanku, sosialisasi di sana begitu kental, jangankan tetengga samping rumah, tetengga ujung yang lumayan jauh merekapun mengenalnya. Aku kembali tersadar kemudian berdiri meletakkan kitab suci di lemari tempat semula aku mengambilnya. Beranjak keluar dari masjid yang megah itu, sesampainya di pintu dan hendak memakai sandal berwarna hitam yang harganya tidak begitu mahal, aku luap apa merek sendalku itu,
     “Astagfirullah” desahku, 
    “kemana sandal yang tadi aku pakai dan melepasnya di depan pintu masjid ini?..”
    Sambil mengusap dada aku berkata ,
    “berhati apakah manusia sekarang ini? “ bahkan di tempat ibadah pun mereka mengambil barang yang bukan haknya, ya Allah ampunilah dosa orang-orang yang tak mengerti jalanMu”
     Melihat kejadian itu, ingatanku kembali pada 20 tahun lalu sewaktu aku masih kecil, aku sering mengaji bersama teman sepermainan di masjid dekat rumahku sewaktu di kampung dulu, banyak sekali yang kehilangan sandal pada saat hendak pulang. Sambil bernafas panjang hatiku berkata “ternyata dari dulu hinggga sekarang hal yang justru memelukan terjadi di tempat-tempat ibadah. Memikirkan kejadian itu membuat aku lupa hari semakin sore, aku harus pulang dan menjemput anakku yang bungsu di tempat les Bahasa Inggris pada salah satu bimbingan belajar, lekas aku mencari kios yang tidak jauh dari masjid, hendak membeli sandal karena tidak mungkin aku pulang tanpa sandal. Belum sempat aku sampai di kios tempat aku akan membeli sandal, di pinggir jalan tepatnya bawah pohon yang rindang. Pohon-pohon itu sengaja di tanam sekitar masjid agar teduh dan tidak gersang. Langkahku terhenti ketika aku melihat sosok wanita paruh baya dengan menggendong keranjang terbuat dari bambu yang tidak begitu  besar, pakaian yang dia kenakan begitu kumal, wajahnya yang mulai berkerut dan kusam sangat terlihat pada sosok wanita itu.
    Entah apa yang aku pikirkan pada saat itu, pelan-pelan aku mendekati wanita tua yang sedang sibuk memungut sampah plastik, wanita tua itu tidak menyadari kedatanganku. Kini aku tepat ada di belakangnya, dua langkah saja jika dia mundur maka akan menginjak kakiku. Semakin dekat aku melihat sosok wanita itu..
    “sepertinya aku mengenalnya, tapi siapa ya?”
    “Praaaak… gedebluk….!”
    Tiba-tiba ranting pohon patah dan nyaris menimpa kepalaku, jika wanita tua itu tak langsung mendorongku, kaget dan tersungkur  itulah yang terjadi pada saat itu. Terdengar wanita paruh baya itu..
    “hati-hati nak, banyak ranting pohon yang rapuh”.
     Sambil menatapku aku kaget ketika aku juga menatap dan hendak mengucapkan terimakasih. Ternyata dia ibu wati yang dulunya adalah tetanggaku sewaktu aku masih di kampong, aku langsung menyapanya.
     “ibu warti!” ini ibu warti kan? Terdengar suara wanita itu.
     “kamu siapa? Iya aku ibu warti” aku pun menjawab.
    “ ini aku bu,widah “ sesaat kami saling merangkul.
     Tak kusangka aku bertemu dengannya di tempat ini setelah sekian lama kami tak bertemu bayangan 20 tahun yang lalu kembali dalam ingantanku ketika aku masih kecil dan hidup di sebuah kampung yang damai, aku memiliki tetangga yang begitu ramah,baik dan dermawan. Bahkan hampir setiap hari aku makan dan bermain di rumah tetangga itu, rumahnya mewah bagi kami masyarakat di kampung rumah itulah yang paling mewah, pemilik rumah itu memiliki harta yangcukup banyak berpendidikan, dermawan dan baik pada masyarakat dialah ibu warti pejabat satu-satunya yang ada di kampung kami pada saat itu. Ibu warti pindah ke kota ketika saya masih belia.semenjak itu aku tidak pernah lagi bermain dirumahnya karena tidak lama kemudian setelah dia pindah rumahnya di jual dan pemiliknya yang baru tidak begitu bersosialisasi pada masyarakat kampung. Semenjak itu aku tidak tau lagi kabar ibu Warti, sampai orang tuaku mengirimku di sekolah yang letaknya di kota yang penuh dengan polusi.aku tersadar dari ingatanku setelah ibu warti menepuk pundak ku dan bertanya keadaan orang tuaku dan aku menjawab mereka baik-baik saja aku balik bertanya tentang keluarga dan pekerjaan ibu warti yang sekarang sudah jauh berbeda ketika waktu di kampung dulu dengan suara yang terhenti-henti karena batuk yang dideritanya ibu Warti menceritakan semuanya yang terjadi selama kurang lebih 19 tahun di kota ini, baru saja dia mau cerita aku memotong pembicraannya dan mengajaknya duduk dan membeli minuman dan memberikan padanya lalu ibu Warti melanjutkan ceritanya pada saat dia pindah ke kota bersama keluarga ibu Warti semakin kaya raya sehingga mungkin karena kelalain ibu Warti di tipu oleh rekan kerjanya yang sangat dia percaya entah dalam bentuk bisnis apa hingga perlahan harta ibu Warti habis di gerogoti si penipu ulung itu. Suaminya pun struk karena pencaharian hanya di dominasi oleh ibu Warti, dan jika ibu Warti bangkrut maka tidak ada lagi yang di harapkan kecuali anak-anaknya yang lulusan universitas luar negeri. Tak lama sakit akhirnya suaminya pun di panggil tuhan. 
    Ibu Warti terpuruk harapan satu-satunya hanya pada anak-anaknya, anak ibu warti ada dua, dan setauku anak pertama seumuran denganku, dan anak ke dua berumur dua tahun di bawahku. Anak pertama laki-laki dan anak ke dua perempuan. yang pertama sudah kerja dan kaya raya memilki istri yang cantik. Namun begitu menyedihkan anak sulung yang di harapkan tidak pernah peduli sama ibunya jangankan untuk membuatkan rumah tempat berteduh, tinggal dan makan di rumahpun tidak di izinkan padahal ibu Warti adalah orang tuanya membesarkan dengan penuh kasih sayang, membiayainya hingga menjadi orang malah tega sang anak memelantarkannya apalagi mamanya sekarang seorang janda. Begitu pula menantu perempuan yang begitu jahat memperlakukan mertuanya jika mampir di rumahnya, dan harapan ibu Warti masi ada pada anak ke duanya yang perempuan ketika ibu warti hendak menuju rumah anaknya yang ke dua yang juga telah menikah sesampainya disana begitu banyak orang di rumah anaknya ibu Warti masuk bagaikan tersengat listrik yang begitu dahsyatnya, dia melihat anaknya sudah tak bernyawa lagi karena kecelakaan yang menimpa anaknya dan nyawanya tak tertolong lagi semenjak itu ibu warti tak memilki harapan dan dia bertekad untuk hidip sendri dengan bekerja sebagai pemulung ketegaran dan keiklasannya selalu ada bersama ibu Warti memang seorang ibu yang sangat kuat dalam menjalani hidup. 
    Selesai bercrita, air mata mengalir di pipi ibu warti aku mengusap dan memeluknya, aku berkata dalam hati.
     “Ya Allah sungguh malang nasib ibu ini, maafkan lah dosa orang- orang yang yang telah menyakitinya, maafkan lah dosa anaknya yang telah menelantarkannya sadarkan lah dia jangan dia menjadi anak yang durhaka.”
     Aku mengajak ibu Warti ke rumah dan dia menolak dan kembali bekerja memungut sampah. Baru beberapa dia meninggalkan ku aku memanggilnya.
     ” ibu marilah ikut denganku, ibu tinggal dengan ku saja” 
    “dia pun menjawab,” tidak usah nak terima kasih, aku akan menghabiskan masa tuaku dengan usahaku sendiri”.
     Aku hanya bisa terdiam dan tidak bisa memaksanya untuk ikut denganku, kemudian ibu Warti berlalu meninggalkan tempat dia bercerita tentang betapa pahitnya hidup.
    Aku semakin diam sambil melihat ibu Warti yang semakin jauh dan tak terlihat lagi.” Ya Allah.. aku hampir lupa menjemput anakku di tempat lesnya sudah hampir bad’ha ashar, cepat-cepat aku ke kios dekat dan membeli sendal merek swallow dan memakainya. Beranjak dari tempat itu dan cepat ku stater motor yamaha Vega R, motor itu hadiah dari suamiku pada saat ulang tahunku, dan motor pun melaju dengan kecepatan 40 km menuju tempat dimana anak sulungku les bahasa inggris.

0 komentar:

Posting Komentar